Kamis, 05 Juli 2012

Karakteristik Tokoh Cepot

 Cepot adalah Sastrajingga atau Astrajingga dan karakter punakawan yang paling dekaat dengan orang sunda.
Cepot memiliki karakter warna dasar merah walaupun bukan seorang raksasa (biasanya hanya raksasa atau karakter wayang yang pemarah yang diberi warna dasar merah) –bahkan sebenarnya selain seorang abdi bagi ksatria Pandawa, Cepot sebenarnya adalah seorang yang piawai dalam membunuh raksasa. Kalau diperhatikan dalam desain ini digunakan warna biru sebagai warna mata Cepot, mata biru ini bukan dari sononya, melainkan warna yang dipilih desainer agar desain menjadi lebih hidup.
Sastrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen (sebetulnya Cepot lahir dari saung). Wataknya humoris, suka banyol ngabodor, tak peduli kepada siapa pun baik ksatria, raja maupun para dewa. Kendati begitu lewat humornya dia tetap memberi nasehat petuah dan kritik.
Lakonnya biasanya dikeluarkan oleh dalang di tengah kisah. Selalu menemani para ksatria, terutama Arjuna, Ksatria Madukara yang jadi majikannya. Cepot digunakan dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bebas bagi pemirsa dan penonton baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan sindiran yang tentu saja disampaikan sambil guyon.
Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok. Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya. Sastrajingga merupakan tokoh panakawan putra Semar Badranaya.
Sastra adalah tulisan. Jingga adalah merah. Si Cepot adalah gambaran tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk ibarat seorang siswa yang mempunyai rapot merah. Namun demikian ia sangat setia mengikuti Semar kemana saja dia pergi.
Kehadirannya dalam setiap pagelaran wayang golek sangat dinanti-nanti karena kekocakannya. Asep Sunandar Sunarya menjadikan si Cepot sebagai kokojo / tokoh unggulan pada setiap pagelaran. Bahkan tanda tangan Asep Sunandar ditulis atas nama Cepot
Keunikan dan kekhasan pribadi si Cepot bisa dilihat dari kata-kata dan tingkah polahnya yang humoris dan memuat nilai-nilai filsafat hidup, semacam world view yang dipegang warga Sunda. Menurut pendapat Ajip Rosidi (1984), si Cepot memiliki watak khas, yakni sering menyatakan sanggup, sombong, mau menang sendiri, cunihin, culametan, tetapi ia berani membela kebenaran, setia, dan banyak akal.
Karakter kepribadiannya yang lain ialah humoris dan sering merelatifkan kehidupan dunia. Karena itu, si Cepot tertancap kuat dalam ingatan kolektif urang Sunda sehingga mengalahkan popularitas Arjuna dan Gatotkaca. Ia bisa membawa penikmat pertunjukan wayang golek merehatkan kepenatan hidup dengan lawakan-lawakannya. Sesuai dengan bahasa agama, kehidupan duniawi adalah permainan (laibun) dan bahan tertawaan (lahwun).
Ketika si Cepot tidak tampil dalam pergelaran wayang golek, pertunjukan akan terasa hambar dan serasa tidak komplit bagai sayur tanpa garam. Tak mengherankan jika si Cepot menjadi tokoh favorit pelbagai kalangan. Tua-muda, kaya-miskin, pejabat-rakyat menyenangi sepak terjang urang Sunda di kehidupan yang dihadirkan secara representatif oleh si Cepot.
Pribadi si Cepot guna menciptakan kekuatan bangsa, yang penting dimiliki di zaman kenihilan etika-moral ini, adalah keniscayaan, apalagi dengan kondisi sosial ekonomi yang karut-marut, meranggasnya perilaku jahat dan korup, serta membiaknya ketidakpedulian masyarakat modern pada orang miskin. Boleh jadi si Cepot adalah obat mujarab untuk mengobati perilaku patologis pejabat secara cerdas, asyik, dan menggelitik. Sebab, irama suara sumbang rakyat jarang didengar dan bahkan sering kali ditertawakan pejabat, bukan malah ditanggulangi dan diselesaikan.
Si Cepot ialah representasi rakyat jelata yang kebetulan dekat dengan raja dan ksatria, putra cikal (pertama) Ki Semar yang bertugas memberi bantuan kepada kaum elite pewayangan guna menghadapi pelbagai persoalan yang mengimpit Astinapura. Bukti kesetiaan si Cepot pada negaranya bisa dilihat dari pertarungan mati-matian dengan buta hejo, antek Kurawa
Secara kontekstual Kurawa bisa diartikan sebagai negara adidaya Amerika Serikat yang kerap melakukan intervensi dan mengganggu stabilitas nasional. Uniknya lagi, untuk konteks kekinian, yang banyak melakukan resistensi adalah kalangan rakyat. Para pejabat, entah karena ada kepentingan, diam seribu bahasa ketika pelbagai kebutuhan rakyat harus diimpor dari negara tetangga kendati media pemenuh kebutuhan itu tersedia di negeri sendiri.

1 komentar: