Senin, 14 Februari 2011

Sektor Pertanian dan Struktur Perekonomian Indonesia

Struktur perekonomian Indonesia merupakan topik strategis yang sampai sekarang masih menjadi topik sentral dalam berbagai diskusi di ruang publik. Kita sudah sering mendiskusikan topik ini jauh sebelum era reformasi tahun 1998. Gagasan mengenai langkah-langkah perekonomian Indonesia menuju era industrialisasi, dengan mempertimbangkan usaha mempersempit jurang ketimpangan sosial dan pemberdayaan daerah, sehingga terjadi pemerataan kesejahteraan kiranya perlu kita evaluasi kembali sesuai dengan konteks kekinian dan tantangan perekonomian Indonesia di era globalisasi.

Tantangan perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat. Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani. Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian beririgasi teknis semakin berkurang.
Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian.  Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur perekonomian Indonesia.

Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.

Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi. Data ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan. 
Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik. Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini. Struktur perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia.  Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini...

sumber :

Posisi Indonesia pada perdagangan internasional

Indonesia termasuk negara yang paling tidak siap memasuki era perdagangan bebas AFTA dan integrasi ekonomi ASEAN. Tapi, pilihan lain juga tidak ada.
Dunia masa kini jauh berbeda dengan dunia 36 tahun lalu, ketika ASEAN (Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara) terbentuk. Dunia sekarangmenghadirkan banyak tantangan yang tidak sepenuhnya bisadiakomodasi oleh kerja sama ASEAN dan blok perdagangan sepertiAFTA (ASEAN Free Trade Area = wilayah perdaganganbebas ASEAN). Pertemuan para wakil 10 negara ASEAN diBali, lalu, tidak saja merumuskan kembali tekad kerjasama ASEAN ini, tapi juga menyadari satu hal yang mendesak: AFTA harus diperbaharui dan implementasinya ditingkatkan.
Semenjak awal, integrasi ekonomi ASEAN sebenarnya sudah terhambat. Masalahnya, sesama anggota bersaing ketat hanya karena mereka menghasilkan produk yang sama, seperti karet, minyak sawit, kayu, udang, dan barang elektronik.  Bahkan, ketika AFTA dicanangkan (1992), banyak yang mencibir karena tak yakin cita-cita itu bisa terlaksana. Gaya kerja  ASEAN, yang terkenal lamban, juga ikut memperburuk keadaan.
Satu hal pasti, dalam liberalisasi perdagangan,ASEAN tidak mencatat banyak kemajuan. Tapi, perlu diingat juga bahwa Masyarakat Eropa perlu persiapan 30 tahun ditambah sembilan tahun lagi untuk mematangkan rencana matauang euro. Kerja sama perdagangan yang lain, misalnya antara Kanada, AS, dan Meksiko, kini pun sudah takterdengar gemanya. Yang paling menghebohkan adalah kegagalan pertemuan WTO (World Trade Organization) di Cancun.. Penyebabnya adalah protes negara-negaraberkembang terhadap subsidi pertanian negara-negara maju. Dalam konfrontasi ini, Brasil dan 21 negara berkembangbersatu-padu menolak subsidi tersebut. Cancun akhirnya gagal, danpihak-pihak terkait langsung salah-menyalahkan.
Dalam suasana sesuram itu, apa yang dicapai dalam pertemuan 10 negara ASEAN di Bali tentu lebih menjanjikan. Setidaknya, ada kesadaran bahwa dunia yang cepatberubah tidak bisa dihadapi dengan pola kerja gaya lama. Jugakrisis moneter yang menghantam ketahanan ekonomi kawasanini memaksa negara-negara ASEAN untuk kembalimerapatkan barisan. Siapa pun bisa memetik hikmah dari keberhasilan Malaysia—yang menolak bekerja sama dengan IMF—atau kesungguhan Indonesia menangani aksi-aksi teroris.Pertentangan antara blok negara maju dan negara berkembang di Cancun juga mengajarkan pada semuanegara—termasuk Cina, yang semakin memantapkan posisinya sebagai raksasa ekonomi Asia—bahwa masalah perdagangan internasional sudah terlalu rumit dan terlalu mengglobal untuk  dihadapi sendiri-sendiri.
Dalam semangat itulah, barangkali, pertemuan ASEANdi Bali bertekad mewujudkan Komunitas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2020—berarti 17tahun dari sekarang. Ditargetkan juga, dalam 10 tahun mendatang, integrasi harus dipercepat di 11 sektor. Thailand dan Singapura malah lebih suka jika integrasi menyeluruh dipercepat pada 2012 atau 2015. PM Thaksin Sinawatra berdalihbahwa akan terlalu lama kalau harus menunggu setiap negarasiap untuk perdagangan bebas. Pertimbangan Thaksinagaknya murni pertimbangan bisnis. Ia memperhitungkan akanadanya tekanan keras dari blok perdagangan lain yangdalam 17 tahun ke depan bisamelemahkan ekonomi ASEAN. Di sisi lain, banyak yang khawatir bahwa gagasan Komunitas Ekonomi ASEAN bisa kehilangan geregetnya jika tidaksegera direalisasi.
Bicara tentang siap atau tidak siap, Indonesia, the sick man of South-East Asia dan negara yang tergolong paling korup di dunia (Transparency International), jelas sangat tidak siap. Aliran dana dari luar tersendat, produknya tidak kompetitif, pemerintahnya korup, hukum diperjualbelikan, penyelundupan merajalela, dan banyak lagi. Jadi, kalau Indonesia harus siap, semua kendala tersebut harus diperangi. Bahkan, percepatan jadwal, seperti diusulkan Thailand dan Singapura, justru harus dijadikan cemeti untuk memberantas inefisiensi, pungli, korupsi, dan kolusi.

sumber :

Tugas 1


Kesenjangan Ekonomi Semakin Lebar

Perekonomian Indonesia pada 2010 tumbuh 6,1 persen, melampaui target 5,8 persen. Nilai produk domestik bruto naik dari Rp 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp 6.422,9 triliun tahun lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan kesenjangan di masyarakat.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky di Jakarta, Senin (7/2/2011), mengatakan, kelompok masyarakat yang sangat kaya masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga mereka.
Sementara sektor industri berorientasi penciptaan nilai tambah penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan ekonomi, justru kian melemah.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengumumkan, pertumbuhan ekonomi pada 2010 dengan nilai produk domestik bruto (PDB) Rp 6.422,9 triliun dan pendapatan per kapita mencapai Rp 27 juta per tahun.
Jumlah ini didapat dari membagi Rp 6.422,9 triliun dengan 237,6 juta penduduk Indonesia.
Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di negara-negara maju.
Pertumbuhan PDB pun kemudian didukung oleh ekspansi investasi, terutama untuk industri manufaktur yang menciptakan lapangan kerja.
Meski demikian, komposisi investasi yang sudah melebihi 30 persen dari PDB telah menunjukkan ada sirkulasi yang bermanfaat bagi perekonomian jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi pada 2010 telah menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 3,34 juta orang. Dengan demikian, menurut Rusman, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi pada 2010 mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi 548.000 orang.
”Ini cukup bagus. Penciptaan lapangan kerja paling besar pertama adalah sektor jasa 325.000 orang. Nomor dua industri pengolahan yang mampu menyerap 220.000 orang,” ujarnya.
Yanuar Rizky berpendapat, konsumsi penopang pertumbuhan ekonomi baru dikatakan berkualitas apabila mampu mendorong kegiatan produksi yang menyerap lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi kita seperti terpisah dari fungsi produksi.
Sektor jasa dari perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh sebesar 8,7 persen dan menjadi penyumbang terbesar terhadap total pertumbuhan PDB, yakni 1,5 persen.
Sumber pertumbuhan PDB terbesar lain adalah angkutan dan industri, masing-masing 1,2 persen.
Konsumsi rumah tangga masih menopang pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 2,7 persen dan investasi 2 persen.
Menurut Yanuar, konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Konsumsi nasional pun ternyata gagal mendorong kegiatan produksi karena sebagian besar kebutuhan domestik didapat lewat impor.
Yanuar mengutip laporan Asia Wealth Report 2010 yang memaparkan secara rinci ke mana saja distribusi investasi kekayaan orang-orang kaya di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.
Kelompok orang kaya Indonesia menyimpan 33 persen aset kekayaan mereka dalam bentuk deposito atau tabungan, real estat (22 persen), saham (19 persen), reksa dana pendapatan tetap (16 persen), dan investasi alternatif, seperti kurs mata uang asing atau komoditas (10 persen).
”Jadi, kebanyakan peningkatan pendapatan itu berasal dari deposito dan instrumen finansial lain dan yang menikmati hanya 200.000 pemilik rekening di atas Rp 100 juta, menurut data BPS. Bagaimana bisa berkualitas kalau pertumbuhan lebih rendah dari inflasi (6,96 persen) dan orang yang tumbuh saat ini hanya pemilik modal yang mampu bermain di pasar uang, bukan berproduksi,” ujar Yanuar.

Industri terpuruk
Kalangan pengusaha juga turut mengkhawatirkan adanya kesenjangan lapisan masyarakat kaya dan miskin. Apabila pemerintah terlambat menanganinya, akan terjadi persoalan sosial yang berdampak terhadap stabilitas ekonomi dan politik.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengemukakan, pengusaha terus berusaha keras menjadi lokomotif perekonomian nasional. Namun, upaya keras tersebut akan sia-sia apabila pemerintah tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kondisi yang ada, seperti infrastruktur, penegakan hukum, pasokan energi, dan ekonomi biaya tinggi.
”Industri manufaktur masih tertolong dengan pertumbuhan sektor otomotif dan elektronik. Toyota dan Honda masih tumbuh karena jumlah penduduk terus bertambah, elektronik masih maju karena mengekspor,” ujar Sofjan.
Namun, kondisi ini dikhawatirkan tidak bertahan lama jika pemerintah tak segera mengubah kebijakan bea masuk yang memanjakan importir. Kebijakan tersebut, termasuk menaikkan tarif dasar listrik, menghantui dunia usaha.
Minat pengusaha memproduksi barang menurun. Mereka kini menjadi lebih pragmatis dan sebagian mulai beralih menjadi importir sehingga lambat laun mempersempit penciptaan lapangan kerja baru.
Kondisi ini yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Yang menikmati pertumbuhan hanya sebagian kecil masyarakat dan masih banyak yang hidup pas-pasan.
”Bagaimana mau tumbuh baik kalau pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan industri manufaktur. Pengusaha juga tidak mau terkena getah dan setback kalau terjadi apa-apa akibat dampak kesenjangan pendapatan,” ujar Sofjan.
Dalam laporan BPS, kontribusi industri pengolahan dalam PDB merosot selama tiga tahun terakhir.
Pada 2008, industri pengolahan berperan sebesar 27,8 persen dalam PDB, lalu turun menjadi 26,4 persen pada 2009 dan 24,8 persen pada 2010. Industri pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyerap sedikitnya 40 juta pekerja dari 108,21 juta pekerja. (ham)

JAKARTA: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2011 lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun ini. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Triwulan III mencapai 5,8% dari prediksi pertumbuhan tahun ini yang mencapai 6%.
Meskipun demikian, hal ini tidak lantas berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat yang akan dicapai. Justru, LIPI memprediksi kesenjangan sosial akan semakin lebar karena pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan ekonomi.

“Pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan kalangan menengah ke atas, tapi tidak memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata peneliti senior LIPI Wijaya Adi dalam pemaparannya mengenai Outlook Perekonomian Indonesia 2011: Antara Pertumbuhan dan Kesejahteraan di kantor LIPI, Jakarta, Rabu (22/12).

Tim dari Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (P2E-LIPI) memiliki dua indikator kesejahteraan. Pertama ialah tingkat pengangguran, sedangkan kedua ialah tingkat kemiskinan.Dari segi pengangguran, pemerintah sendiri mengklaim bahwa jumlah pengangguran menurun dari 9.259.000 jiwa (2009) menjadi 8.592.000 jiwa (2010). Tahun 2011, pemerintah menargetkan penurunan menjadi 8.123.000 jiwa.

Mengenai data ini, Wijaya menilai pemerintah hanya menggunakan data pengangguran terbuka. Padahal berdasarkan data BPS yang diolah LIPI, terdapat pula pengangguran setengah terbuka alias angkatan kerja yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pengangguran setengah terbuka meningkat dari 31.363.000 jiwa (2009) menjadi 32.803.000 (2010) dan diprediksi bertambah lagi menjadi 34.322.000 pada 2011.“Pemerintah selalu menggunakan data pengangguran terbuka, padahal jumlah yang setengah terbuka ini yang mencerminkan tingkat kesejahteraan pekerja,” imbuh Wijaya…
Sementara tingkat kemiskinan, pemerintah juga mengklaim terjadi penurunan sebanyak 1,51 juta orang dibanding 2009. Tahun ini, jumlah penduduk miskin tinggal 31,02 juta orang sementara tahun lalu masih 32,53 juta orang.

Total anggaran yang dihabiskan untuk pengentasan kemiskinan tahun 2010 ini sendiri mencapai Rp86,1 triliun. Menurut Wijaya, jumlah ini perlu dipertanyakan karena menurut LIPI, jumlah dana yang digunakan hanya Rp4,5 triliun, sementara sisanya entah ke mana. (OL-9)

sumber :