Senin, 14 Februari 2011

Posisi Indonesia pada perdagangan internasional

Indonesia termasuk negara yang paling tidak siap memasuki era perdagangan bebas AFTA dan integrasi ekonomi ASEAN. Tapi, pilihan lain juga tidak ada.
Dunia masa kini jauh berbeda dengan dunia 36 tahun lalu, ketika ASEAN (Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara) terbentuk. Dunia sekarangmenghadirkan banyak tantangan yang tidak sepenuhnya bisadiakomodasi oleh kerja sama ASEAN dan blok perdagangan sepertiAFTA (ASEAN Free Trade Area = wilayah perdaganganbebas ASEAN). Pertemuan para wakil 10 negara ASEAN diBali, lalu, tidak saja merumuskan kembali tekad kerjasama ASEAN ini, tapi juga menyadari satu hal yang mendesak: AFTA harus diperbaharui dan implementasinya ditingkatkan.
Semenjak awal, integrasi ekonomi ASEAN sebenarnya sudah terhambat. Masalahnya, sesama anggota bersaing ketat hanya karena mereka menghasilkan produk yang sama, seperti karet, minyak sawit, kayu, udang, dan barang elektronik.  Bahkan, ketika AFTA dicanangkan (1992), banyak yang mencibir karena tak yakin cita-cita itu bisa terlaksana. Gaya kerja  ASEAN, yang terkenal lamban, juga ikut memperburuk keadaan.
Satu hal pasti, dalam liberalisasi perdagangan,ASEAN tidak mencatat banyak kemajuan. Tapi, perlu diingat juga bahwa Masyarakat Eropa perlu persiapan 30 tahun ditambah sembilan tahun lagi untuk mematangkan rencana matauang euro. Kerja sama perdagangan yang lain, misalnya antara Kanada, AS, dan Meksiko, kini pun sudah takterdengar gemanya. Yang paling menghebohkan adalah kegagalan pertemuan WTO (World Trade Organization) di Cancun.. Penyebabnya adalah protes negara-negaraberkembang terhadap subsidi pertanian negara-negara maju. Dalam konfrontasi ini, Brasil dan 21 negara berkembangbersatu-padu menolak subsidi tersebut. Cancun akhirnya gagal, danpihak-pihak terkait langsung salah-menyalahkan.
Dalam suasana sesuram itu, apa yang dicapai dalam pertemuan 10 negara ASEAN di Bali tentu lebih menjanjikan. Setidaknya, ada kesadaran bahwa dunia yang cepatberubah tidak bisa dihadapi dengan pola kerja gaya lama. Jugakrisis moneter yang menghantam ketahanan ekonomi kawasanini memaksa negara-negara ASEAN untuk kembalimerapatkan barisan. Siapa pun bisa memetik hikmah dari keberhasilan Malaysia—yang menolak bekerja sama dengan IMF—atau kesungguhan Indonesia menangani aksi-aksi teroris.Pertentangan antara blok negara maju dan negara berkembang di Cancun juga mengajarkan pada semuanegara—termasuk Cina, yang semakin memantapkan posisinya sebagai raksasa ekonomi Asia—bahwa masalah perdagangan internasional sudah terlalu rumit dan terlalu mengglobal untuk  dihadapi sendiri-sendiri.
Dalam semangat itulah, barangkali, pertemuan ASEANdi Bali bertekad mewujudkan Komunitas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2020—berarti 17tahun dari sekarang. Ditargetkan juga, dalam 10 tahun mendatang, integrasi harus dipercepat di 11 sektor. Thailand dan Singapura malah lebih suka jika integrasi menyeluruh dipercepat pada 2012 atau 2015. PM Thaksin Sinawatra berdalihbahwa akan terlalu lama kalau harus menunggu setiap negarasiap untuk perdagangan bebas. Pertimbangan Thaksinagaknya murni pertimbangan bisnis. Ia memperhitungkan akanadanya tekanan keras dari blok perdagangan lain yangdalam 17 tahun ke depan bisamelemahkan ekonomi ASEAN. Di sisi lain, banyak yang khawatir bahwa gagasan Komunitas Ekonomi ASEAN bisa kehilangan geregetnya jika tidaksegera direalisasi.
Bicara tentang siap atau tidak siap, Indonesia, the sick man of South-East Asia dan negara yang tergolong paling korup di dunia (Transparency International), jelas sangat tidak siap. Aliran dana dari luar tersendat, produknya tidak kompetitif, pemerintahnya korup, hukum diperjualbelikan, penyelundupan merajalela, dan banyak lagi. Jadi, kalau Indonesia harus siap, semua kendala tersebut harus diperangi. Bahkan, percepatan jadwal, seperti diusulkan Thailand dan Singapura, justru harus dijadikan cemeti untuk memberantas inefisiensi, pungli, korupsi, dan kolusi.

sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar