Cepot adalah Sastrajingga atau Astrajingga dan karakter punakawan yang paling dekaat dengan orang sunda.
Cepot memiliki karakter warna dasar merah walaupun bukan
seorang raksasa (biasanya hanya raksasa atau karakter wayang yang pemarah yang
diberi warna dasar merah) –bahkan sebenarnya selain seorang abdi bagi ksatria
Pandawa, Cepot sebenarnya adalah seorang yang piawai dalam membunuh raksasa.
Kalau diperhatikan dalam desain ini digunakan warna biru sebagai warna mata
Cepot, mata biru ini bukan dari sononya, melainkan warna yang dipilih desainer
agar desain menjadi lebih hidup.
Sastrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen (sebetulnya Cepot lahir
dari saung). Wataknya humoris, suka banyol ngabodor, tak peduli kepada siapa
pun baik ksatria, raja maupun para dewa. Kendati begitu lewat humornya dia
tetap memberi nasehat petuah dan kritik.
Lakonnya biasanya dikeluarkan oleh dalang di tengah kisah.
Selalu menemani para ksatria, terutama Arjuna, Ksatria Madukara yang jadi
majikannya. Cepot digunakan dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bebas bagi
pemirsa dan penonton baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan sindiran yang
tentu saja disampaikan sambil guyon.
Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok. Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya. Sastrajingga merupakan tokoh panakawan putra Semar Badranaya.
Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok. Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya. Sastrajingga merupakan tokoh panakawan putra Semar Badranaya.
Sastra adalah tulisan. Jingga adalah merah. Si Cepot adalah
gambaran tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk ibarat seorang siswa yang
mempunyai rapot merah. Namun demikian ia sangat setia mengikuti Semar kemana
saja dia pergi.
Kehadirannya dalam setiap pagelaran wayang golek sangat
dinanti-nanti karena kekocakannya. Asep Sunandar Sunarya menjadikan si Cepot
sebagai kokojo / tokoh unggulan pada setiap pagelaran. Bahkan tanda tangan Asep
Sunandar ditulis atas nama Cepot
Keunikan dan kekhasan pribadi si Cepot bisa dilihat dari
kata-kata dan tingkah polahnya yang humoris dan memuat nilai-nilai filsafat
hidup, semacam world view yang dipegang warga Sunda. Menurut pendapat Ajip
Rosidi (1984), si Cepot memiliki watak khas, yakni sering menyatakan sanggup,
sombong, mau menang sendiri, cunihin, culametan, tetapi ia berani membela
kebenaran, setia, dan banyak akal.
Karakter kepribadiannya yang lain ialah humoris dan sering
merelatifkan kehidupan dunia. Karena itu, si Cepot tertancap kuat dalam ingatan
kolektif urang Sunda sehingga mengalahkan popularitas Arjuna dan Gatotkaca. Ia
bisa membawa penikmat pertunjukan wayang golek merehatkan kepenatan hidup
dengan lawakan-lawakannya. Sesuai dengan bahasa agama, kehidupan duniawi adalah
permainan (laibun) dan bahan tertawaan (lahwun).
Ketika si Cepot tidak tampil dalam pergelaran wayang golek,
pertunjukan akan terasa hambar dan serasa tidak komplit bagai sayur tanpa
garam. Tak mengherankan jika si Cepot menjadi tokoh favorit pelbagai kalangan.
Tua-muda, kaya-miskin, pejabat-rakyat menyenangi sepak terjang urang Sunda di
kehidupan yang dihadirkan secara representatif oleh si Cepot.
Pribadi si Cepot guna menciptakan kekuatan bangsa, yang penting
dimiliki di zaman kenihilan etika-moral ini, adalah keniscayaan, apalagi dengan
kondisi sosial ekonomi yang karut-marut, meranggasnya perilaku jahat dan korup,
serta membiaknya ketidakpedulian masyarakat modern pada orang miskin. Boleh
jadi si Cepot adalah obat mujarab untuk mengobati perilaku patologis pejabat
secara cerdas, asyik, dan menggelitik. Sebab, irama suara sumbang rakyat jarang
didengar dan bahkan sering kali ditertawakan pejabat, bukan malah ditanggulangi
dan diselesaikan.
Si Cepot ialah representasi rakyat jelata yang kebetulan
dekat dengan raja dan ksatria, putra cikal (pertama) Ki Semar yang bertugas
memberi bantuan kepada kaum elite pewayangan guna menghadapi pelbagai persoalan
yang mengimpit Astinapura. Bukti kesetiaan si Cepot pada negaranya bisa dilihat
dari pertarungan mati-matian dengan buta hejo, antek Kurawa
Secara kontekstual Kurawa bisa diartikan sebagai negara
adidaya Amerika Serikat yang kerap melakukan intervensi dan mengganggu
stabilitas nasional. Uniknya lagi, untuk konteks kekinian, yang banyak
melakukan resistensi adalah kalangan rakyat. Para pejabat, entah karena ada
kepentingan, diam seribu bahasa ketika pelbagai kebutuhan rakyat harus diimpor
dari negara tetangga kendati media pemenuh kebutuhan itu tersedia di negeri sendiri.
Terima kasih ilmunya semoga berkah dan sukses
BalasHapus