Rabu, 22 Januari 2014

BPHTB (BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN)


Definisi BPHTB
BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) adalah perbuatan atau peristiwa hokum yang mengakibatkan diperolahnya hak atas tanah dan atau bvagunan oleh orang pribadi atau badan.
Dasar Hukum
Dasar Hukum dari BPHTB adalah UU No. 20 Tahun 2000.
Subjek BPHTB :
Orang Pribadi atau badan yang memperoleh hak ats tanah dan atau bangunan.
Objek BPHTB :
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan meliputi:
1.       Pemindahan Hak karena :
a.       Jual beli
b.       Tukar menukar
c.       Hibah
d.      Hibah Wasiat, merupakan suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanahdan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hokum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
e.      Waris
f.        Pemasukan dalam Perseroan/Badan Hukum lainnya
g.       Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan
h.      Penunjukan pembeli dalam Lelang
i.         Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap
j.        Penggabungan Usaha
k.       Peleburan Usaha
l.         Pemekaran Usaha
m.    Hadiah

2.       Pemberian Hak Baru karena :
a.       Kelanjutan pelepasan hak yaitu, pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hokum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
b.      Diluar pelepasan hak yaitu, pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hokum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Objek yang tidak dikenakan BPHTB:
1.       Objek yang diperoleh perwakilan diplomatic
2.       Objek yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan kepentingan umum.
3.       Objek yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasiona yang ditetapkan Menteri Keuangan, dengan syarat tidak menjalankan usaha lain diluar fungsi dan tugasnya.

Tarif BPHTB :
Tarif BPHTB adalh sebesar 5%  dari  NPOPKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak).

Hak Atas Tanah Sebagai Perolehan Tanah dan Bangunan
Ø  Hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;
Ø  Hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
Ø  Hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Ø  Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ø  Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Ø  Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan pajak (BPHTB) adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal :
  1. jual beli adalah harga transaksi;
  2. tukar-menukan adalah nilai pasar;
  3. hibah adalah nilai pasar;
  4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
  5. waris adalah nilai pasar;
  6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
  7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
  8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
  9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
  10. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
  11. penggabungn usaha adalah nilai padar;
  12. peleburan usaha adalah nilai pasar;
  13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
  14. hadiah adalah nilai pasar;
  15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
        Apabila NPOP dalam hal 1 s/d 14 diatas tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.


Tata Cara Pembayaran
Dasar penetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTP) sesuai yang diatur oleh Undang –undang No. 21 Tahun 1997 adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Nilai Perolehan Objek Pajak  (NPOP) dalam jual – beli properti yang dihitung adalah nilai transaksi, sedangkan dalam kegiatan hukum lainnya (hibah, warisan, tukar – menukar dan lain – lain) yang menjadi Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ditetapkan pada tahun terjadinya pemindahan hak, maka yang digunakan sebagai dasar perhitungan pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. Sebaliknya, apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) lebih besar dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), maka yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Perlu diketahui bahwa kebijakan penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bersifat regional, artinya setiap pemerintah daerah memiliki kebijakan masing – masing.
Tarif yang ditetapkan untuk perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTP) sesuai dengan yang diatur oleh Undang – undang No. 21 Tahun 1997 adalah 5 % dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan  Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) atau disebut sebagai Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling tinggi adalah Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta rupiah), sedangkan untuk perolehan secara waris atau hibah yang diterima secara pribadi oleh perseorangan yang masih memiliki ikatan darah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling tinggi sebesar Rp. 300.000.000,- (Tiga Ratus Juta rupiah). Secara matematis dapat dirumuskan:
NPOPKP
=
NPOP – NPOPTKP
Nilai BPHTB
=
 5 % x NPOPKP

Berikut ini adalah ilustrasi pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTP):
A membeli tanah di Kodya Bandung dari B senilai Rp. 200.000.000,-
Pemerintah Kota Bandung menetapkan NPOPTKP sebesar Rp. 60.000.000,-
Maka BPHTP yang harus dibayarkan oleh A adalah:
NPOP
=
Rp. 200.000.000,-
NPOPTKP
=
Rp.   10.000.000,-

=
Rp.   60.000.000,-
NPOPKP
=
NPOP – NPOPTKP

=
Rp. 200.000.000,- – Rp. 60.000.000,-

=
Rp. 140.000.000,-
 BPHTP Terhutang
=
5 % x NPOPKP

=
5 % x Rp. 140.000.000,-

=
Rp. 7.000.000,-
Jadi, BPHTP yang harus dibayarkan oleh A adalah sebesar Rp. 7.000.000,-



CONTOH SOAL

1.   Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp. 100 juta, NJOP PBB pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp.95 juta. Jika NJOPTKP kota Malang atas transaksi tersebut sebesar Rp. 60 juta, maka tentukan BPHTB yang terutang atas perolehan hak Tersebut !

Jawab :
NPOP                      = Rp. 100.000.000
NPOPTKP               = Rp.  60.000.000
NPOPKP                  = Rp. 40.000.000

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif
BPHTB = NPOPKP x  Tarif



BPHTB Terhutang  = (100.000.000 – 60.000.000) x  5%
                                =  Rp. 40.000.000 x 5%
                                =  Rp. 2.000.000


2.   PERUM perumnas memperoleh hak pengelolaan atas tanah seluas 10 ha dengan NPOP RP. 1.000.000.000,-. BPHTB adalah :

Jawab :

NPOP                         = Rp. 1.000.000.000,-
NPOPTKP                 =             60.000.000,-
NPOPKP                    =  Rp. 940.000.000,-

BPHTB Terhutang = 5% x Rp. 940.000.000,- = Rp. 47.000.000,-

Wajib pajak membayarkan BPHTP terhutang tidak berdasarkan pada Surat Ketetapan Pajak (SKP), melainkan dengan cara melakukan perhitungan mandiri dengan mengisi Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (SBB). SBB dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak yang ada di setiap daerah. Pembayaran BPHTP dapat dilakukan di tempat yang telah ditunjuk, seperti Kantor Pajak, Bank atau Kantor Pos serta dapat dilakukan tanpa menunggu diterbitkannya SKP. Apabila wajib pajak tidak melakukan pembayaran BPHTP, maka Dirjen Pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan BPHTP (SKBKB) berserta perhitungan denda sebesar 2 % untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (2 tahun), dihitung mulai saat pajak terhutang hingga diterbitkannya SKBKB.
Semoga uraian singkat diatas  mengenai pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTP) dapat bermanfaat. Ingat Pajak untuk kepentingan bersama!


Selasa, 14 Januari 2014

Pelanggaran Hukum Terhadap Pelanggaran Etika

Utrecht mengatakan hukum merupakan kumpulan peraturan (berupa perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan harus ditaati oleh anggota masyarakat tersebut. Oleh karena itu, maka pelanggaran terhadap petunjuk hidup di dalam hukum tersebut dapat menimbulkan adanya tindakan dari pemerintah. Sementara Wiryono Kusumo mengatakan definisi hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis maupun yang tak tertulis yang mana mengatur mengenai tata tertib di dalam masyarakat dan pelanggarnya bisa dikenakan sanksi. Bagi Wiryono Kusumo, tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan ketertiban di dalam masyarakat.
Pelanggaran hukum dapat terjadi dari eksternal maupun internal dari diri pelanggar. faktor eksternal merupakan faktor-fakor diluar diri pelanggar seperti faktor lingkungan yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindak pelanggaran hukum. Sedangkan faktor internal merupakan faktor yang ada di dalam diri pelanggar. Salah satu faktor internalnya yaitu adanya etika . Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral..Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy). Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Tetapi pelanggaran etika dalam kehidupan manusia diantaranya dipengruhi oleh beberapa faktor yaitu : tidak adanya pedoman dalam hidup, perilaku kebiasaan individu, adanya kebutuhan masing-masing individu, dan dari sebuah lingkungan yang tidak etis.
Oleh karena itu pelanggaran hukum dapat terjadi karena adanya pelanggaran etika. Salah satu kasus yang dapat kita ambil yaitu seperti kasus Pelanggaran Etika Ketua MK nonaktif Akil Mochtar. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan memecat Ketua MK nonaktif Akil Mochtar, Jumat 1 November 2013. Ia diberhentikan secara tidak hormat karena terbukti melanggar kode etik hakim. Pelanggaran yang dilakukan oleh Akil tak hanya satu, namun berlipat-lipat. Terkait dengan penahanan ketua MK nonaktif ini, dikarenakan beberapa pelanggaran etika dan hukum yang dilakukannya. Pertama terkait dugaan bersalah dalam penyelesaian sengketa Pilkada Banyuasin di Sumatera Selatan dan sejumlah perselisihan pilkada di daerah lain. Akil juga diduga menggunakan kewenangannya sebagai hakim untuk membagi perkara antara panelnya dengan panel lain.Kedua, terkait rekening dan transaksi tak wajar yang dimiliki Akil. Ketiga, terkait narkotika yang dimiliki Akil. Akil diduga menyimpan narkotika, yakni tiga lintung ganja utuh dan satu bekas pakai, dua pil inex ungu dan hijau seperti yang diujaran Harjono. Keempat terkait hobi Akil yang hobi ke luar negeri yang berdasarkan keterangan saksi, Akil Mochtar sering pergi ke luar negeri dengan keluarga ajudan dan sopir tanpa pemberitahuan pada Sekjen MK, termasuk ketika ke Singapura pada 21 September 2012,” ujar Harjono. Dan Kelima, terkait kepemilikan mobil-mobil mewahnya yang berdasarkan surat keterangan Ditlantas Polda Metro Jaya kepemiliknanya tidak terdaftar di Ditlantas. Ada kesan mobil itu dimiliki secara tidak sah. Opini penulis mengenai kasus Akil ini yaitu Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi sebagai institusi tertinggi penegakan hukum/kehakiman di negara ini malah melakukan tindakan yang tercela dimata hukum. Hal ini terkait bagaimana buruknya etika profesi yang dimiliki dirinya sehingga dengan mudah dapat menerima suap. Padahal, gaji/pendapatan sebagai ketua MK sudah cukup besar, namun dirinya masih merasa kurang atas segala yang telah ia terima sebagai ketua MK. Sebagai ketua Mahkamah Konstitusi seharusnya dapat memberikan pedoman dan pandangan yang baik terhadap hakim lainnya serta kepada masyarakat bahwa kedudukan hukum adalah mutlak harus ditegakkan.